Senin, 30 April 2012

Ketahanan Pakan untuk Ketahanan Pangan


Oleh: Suharyanto

            Akhir-akhir ini isu ketahanan pangan kembali menyeruak ketika Indonesia dilanda bencana alam berkepanjangan sehingga meluluhlantakkan daerah-daerah lumbung pangan seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gejolak kerawanan pangan semakin mengemuka ketika harga kedelai melambung tinggi hingga tak terjangkau oleh produsen tempe dan tahu serta kecap. Mengapa produksi tempe dan tahu goyah? Karena bahan bakunya impor. Ini menandakan bahwa kita masih rawan pangan.

            Organisasi pangan dunia (FAO) telah menjadikan ketahanan pangan sebagai prioritas utama program pembangunan bangsa-bangsa di dunia. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya Milenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan badan dunia PBB tahun 2000. Tujuan pertama dari MDGs adalah pemberantasan kemiskinan dan kelaparan. Sudah jamak diketahui bahwa kemiskinan dan kelaparan sangat terkait dengan ketahanan pangan. Hubungan antara kemiskinan, kelaparan dan ketahanan pangan merupakan suatu agenda yang tidak pernah berakhir (the unfinished agenda).

            Secara definisi, ketahanan pangan merupakan terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup baik dari segi jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau. Untuk dapat mencapai ketahanan pangan tersebut diperlukan empat elemen yang mesti dipenuhi, yaitu a) tersedianya pangan yang sebagian besar merupakan produksi sendiri, b) stabilitas dan kontinuitas ketersediaan pangan, c) aksesibilitas dan keterjangkauan pangan secara memadai, dan d) kualitas konsumsi yang sehat dan aman.
Berbicara tentang ketahanan pangan maka yang dimaksudkan adalah meliputi pangan nabati dan pangan hewani. Pangan nabati masih saja berkutat pada ketersediaan beras nasional yang beberapa waktu lalu memicu kontroversi baik mengenai data maupun keputusan impor atau tidaknya beras. Sebagai bahan pangan pokok tunggal, beras menjadi bukan saja komoditas pangan tetapi menjadi komoditas politik juga. Oleh karenanya beberapa peneliti serta pengamat menganjurkan perlunya diversifikasi pangan sumber karbohidrat dan protein nabati. Selain itu, bencana alam banjir yang melanda Jawa Tengah dan Jawa Timur telah menyebabkan porak porandanya lumbung padi nasional sehingga menyebabkan kerawanan pangan.

            Sementara itu pada pangan hewani sedang digalakkan peningkatan produksi dan konsumsi daging, telur dan susu yang kecenderungannya meningkat. Bahkan Delgado (1999) memprediksi bahwa konsumsi pangan hewani sedang dan akan terus meningkat pesat hingga tahun 2020 di negara sedang berkembang. Sayangnya peningkatan ini belum diimbangi dengan peningkatan produksi dalam negeri secara aman dalam istilah ketahanan pangan di atas. Hal ini karena selama ini produk pangan hewani tidak didasari pada basis industri hulu yang aman. Sebagaimana diketahui bahwa dalam industri peternakan, pakan merupakan variabel terbesar yaitu 70% dari biaya produksi. Sementara itu hingga saat ini bahan baku pakan ternak sebagian besar masih impor sehingga mudah dipahami bila harga dan kontinuitas produk sangat tergantung dengan impor. Beranjak dari hal inilah maka ketahanan pakan menjadi sangat penting dikaji.


 Krisis Baru: 3 F
            Sebenarnya ketahanan pakan urgen untuk segera diprogramkan mengingat bahan baku pakan sebenarnya juga merupakan bahan pangan dan penggunaannya hingga saat ini lebih banyak diarahkan sebagai bahan pangan. Kita ketahui bahwa jagung, kedelai, tepung ikan merupakan bahan pangan (food) dan juga merupakan bahan baku pakan ternak (feed). Oleh karena itu terjadi “perebutan” penggunaan produk pertanian tersebut. Sementara itu produksi yang ada tidak mencukupi untuk memenuhi kedua penggunaan tersebut.
Pentingnya ketahanan pakan semakin menemukan momentumnya ketika saat ini tengah terjadi krisis energi (bahan bakar) dunia. Cadangan energi tak terbaharukan sudah semakin habis dan perlu pengganti energi yang terbaharukan. Salah satu terobosan yang ditempuh adalah dengan pemanfaatan sumber energi nabati (biofuel). Saat ini jagung dan kedelai merupakan bahan baku etanol sebagai sumber energi terbaharukan. Amerika merupakan salah satu negara yang tengah melakukan produksi etanol dari jagung dan kedelai secara besar-besaran sebagai sumber bahan bakar nabati. Menurut berbagai pemerhati, pemerintah Amerika Serikat tengah menargetkan pemotongan penggunaan bensin sebesar 20% dalam 10 tahun dan gantinya adalah penggunaan etanol. Ini membutuhkan 300 juta ton jagung. Eropa 200 juta ton, Cina 50 juta ton jagung dan Argentina menargetkan 26% dari total produksi kedelainya untuk biofuel.

            Bergesernya alokasi penggunaan bahan pangan/pakan tersebut menjadi bahan bakar berdampak pada harga bahan baku pakan. Baru-baru ini malah terjadi lonjakan harga kedelai yang sangat tinggi, yaitu dari Rp 3.000 menjadi Rp8.000,-/kg sehingga pengusaha tahu dan tempe terancam gulung tikar. Kenyataannya juga, harga jagung impor di atas Rp 2000,-/kg. Hal ini terjadi karena jagung dan kedelai berasal dari impor yang mana di pasaran dunia telah mengalami kenaikan. Dengan demikian maka jagung dan kedelai selain diperebutkan sebagai bahan pangan (food), bahan pakan (feed) juga untuk bahan bakar (fuel).
Elemen Ketahanan Pakan
           
            Dengan mengadopsi definisi ketahanan pangan, maka ketahanan pakan juga memiliki empat elemen sebagaimana pada ketahanan pangan, yaitu a) tersedianya pakan hasil produksi sendiri, b) stabilitas dan kontinuitas ketersediaan pakan, c) aksesibilitas dan keterjangkauan pakan yang memadai, dan d) kualitas konsumsi yang sehat dan aman.
Dari keempat elemen tersebut, elemen pertama dan kedua merupakan hal krusial yang menentukan ketahanan pakan. Hingga saat ini, kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi dan konsumsi produk hewani lebih dititikberatkan pada agribisnis on farm. Padahal dalam usaha on farm ini, pakan menempati porsi terbesar dalam industri peternakan. Oleh karenanya agribisnis hulu berupa pakan (bahan baku pakan) dan obat-obatan memiliki peran vital bagi kelangsungan usaha on farm.
Untuk memenuhi ketersediaan pakan (bahan baku pakan) maka impor merupakan satu-satunya cara untuk memenuhi permintaan akan pakan. Lebih dari 75% komponen bahan baku dan teknologi pakan mengandalkan dari impor. Menurut data Deptan (http://www.deptan.go.id), pada tahun 2005 periode Januari –Juli, Indonesia mengimpor jagung sebanyak 179,6 juta ton dengan nilai 43,2 juta dolar AS, kedelai 3,2 miliar ton dengan nilai 879 juta dolar AS. Impor bahan pakan hewan juga cukup besar, yaitu 526,5 juta ton dengan nilai 213 juta dolar AS. Dan ini relatif meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2004 dengan periode yang sama dimana impor kedelai dan bahan pakan hewan masing-masing adalah sebesar 1,6 miliar ton dan 221,7 juta ton kecuali jagung yang menurun dari 306 juta ton. Dengan demikian maka terlihat bahwa hingga saat ini pakan ternak belum dikatakan aman karena ketersediaannya sebagian besar dari impor.

            Pada elemen stabilitas dan kontinuitas ketersediaan pakan jelas memperlihatkan ketersediaan pakan yang tidak stabil dan tidak kontinyu. Ketidakstabilan ini karena sebagian besar bahan baku pakan bergantung pada impor dan ini berarti tergantung dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila harga pakan juga tidak stabil.

Sumber Pakan Alternatif
            Pencarian sumber pakan alternatif bisa diarahkan pada dua hal, yaitu pemanfaatan produk samping suatu hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan lain-lainnya serta diarahkan pada pencarian sumber primer alternatif yang tidak bersaing dengan penggunaan sebagai bahan pangan maupun bahan bakar.
Indonesia sebagai negara yang memiliki sumberdaya alam melimpah kiranya memiliki banyak sumber pakan primer alternatif. Ini membutuhkan kemauan semua pihak untuk melakukan eksplorasi dan penelitian pada sumber-sumber pakan alternatif yang tidak kompetitif sebagai bahan pangan dan bahan bakar. Berbagai penelitian tentang ini juga telah dilakukan, oleh karenanya perlu segera dielaborasi dalam bentuk pemanfaatan dalam skala teknis sehingga hasil penelitian bisa segera menjawab tantangan pentingnya ketahanan pakan melalui pemanfaatan sumber pakan primer alternatif.

            Pemanfaatan hasil samping juga sangat banyak tersedia. Misalnya saja hasil samping dari pengolahan minyak kelapa sawit, produk ikutan dari perkebunan kelapa sawit, kelapa, jagung, kedelai, padi, industri etanol itu sendiri dan lain sebagainya. Semua itu sangat memungkinkan dijadikan sumber pakan. Bahkan sebagian diantaranya telah diteliti dan dimanfaatkan. Hanya saja hasil penelitian yang terkait belum dielaborasikan pada skala teknis. Sedangkan untuk hasil ikutan padi, kedelai dan sejenisnya masih terkendala dalam kontinuitas bahan. Dengan demikian maka perlu juga input teknologi untuk bisa lebih efisien dan efektif dalam pemanfaatan bahan hasil samping.

            Akhirnya, ketahanan pakan merupakan prasyarakat untuk terwujudnya ketahanan pangan hewani (peternakan). Ketahanan pangan hewani urgen untuk diwujudkan mengingat konsumsi akan produk-produk pangan hewani (peternakan) cenderung meningkat justru terjadi di negara-negara sedang berkembang yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksinya. Peningkatan performans produksi ini harus ditunjang dengan ketahanan pakan karena pakan merupakan variabel utama dalam industri peternakan, yaitu menempati 70% dari total biaya produksi.

(Penulis adalah Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Unib)
Dimuat pada Harian Rakyat Bengkulu, Selasa 26 Februari 2008